MAKALAH
FIQH
MUAMALAH II
“KAFALAH
DAN HIWALAH”
Oleh
DAHLIA
Dosen
Pengampuh
Khairiah
Elwardah
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
KOTA
BENGKULU 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr. Wb
Puji syukur
kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
hamba-Nya, khususnya bagi kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul ”Kafalah Dan Hiwalah”
Makalah ini
mungkin belum sempurna atau masih banyak kekurangan dalam penyusunan dan
penulisannya, untuk itulah kami mohon maaf karena kesempurnaan itu hanya milik
Allah Swt.
Besar
harapan kami, semoga makalah ini bisa menjadi landasan ilmu yang bermanfaat
bagi para dosen, mahasiswa, maupun pembaca makalah ini. Amin
Wassalamu Alaikum Wr. Wb
Bengkulu, Juni
2016
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada
orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan
telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong
menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah :
(QS.Al-Maidah: 2 )
Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan
manifestasi dari semangat ayat tersebut.
Dhaman (jaminan) merupakan salah satu ajaran islam. Jaminan pada
hakikatnya usaha untuk memberikan kenyamananan dan keamanan bagi semua orang
yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah ialah
ansuransi. Jaminan atau asuransi telah disyariatkan oleh islam ribuan tahun
silam. Ternyata, untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting,
tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksiseperti utang apalagi transaksi
bank seperti bank dan sebagainya. Dalam hal kafalah ini bisa mendatangkan sikap
tolong menolong , keamanan, kenyamanan dan kepastian dalam bertransaksi. Supaya
orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan
kepada orang lain atau benda yang dipinjam.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang
dimaksud dengan kafalah dan hiwalah?
2.
Apa dasar hukum
kafalah dan hiwalah?
3.
Sebutkan rukun
dan syarat kafalah dan hiwalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Kafalah
Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان (jaminan), الحمالة (beban), dan الزعامة(tanggungan).Secara terminologi,
sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah
adalah, "Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”.
Definisi lain adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor(makful
lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau
yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.[1]
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman,
yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas.Namun dalam
perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal
guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan
yang berbentuk barang/harta benda.[2]
Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk
menngganti atau menanggung kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut
tidak dapat memenuhi kewajibannnya. kafalah sebagai akad yang tertuang di
dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk menanggung hukuman yang seharuasnya
diberikan kepada sang terhukum dengan menghadirkan dirinya atau disebut juga
sebagai kafalah An Nafs.
B.
Landasan Hukum Kafalah
1. Al-Qur’an
Penyeru-penyeru
itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya." (Surah Yusuf : 72 )
Dalam tafsir Aisarut Tafasir disebutkan bahwa Para pembantu raja
menjawab, "Kami sedang mencari bejana tempat minum raja. Kami akan
memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat beban
unta." Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan
berkata, "Aku menjamin janji ini."
Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan za’im dalam ayat ini
adalah kafiil penjamin.
2. Hadist
اَلْعَارِيَةُ
مُؤَذَةٌ وَلزَّعِيْمُ غَارِمٌ (رواه ابوداود)
“
pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar “ ( riwayat abu dawud ).
اَنَّ لنَّبِيَّ ص م تَحَمَّلَ عَشْرَةَ
دَنَانِيْرَعَنْ رَجُلٍ قَدْلَزِمَهُ غَرِيْمُهُ إِلَى شَهْرٍ وَقَضَا هَاعَنْ
“ bahwa Nabi Saw. Pernah
menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan
untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih “
( riwayat ibnu majah ).
أَنَّ النَّبِيَّ ص م اِمْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ
عَلَى مَنْ عَلَيْهِ دِيْنٌ فَقَالَ اَبُوْقَتَادَةَ صِلِّ عَلَيْهِ يَارَسُوْلَ
اللهِ وَعَلَيَّ دّيْنُهُ فَصَلَّ عَلَيْهِ (رواه البخارى)
“ bahwa Nabi Saw. Tidak mau shalat mayit pada mayit
yang masih punya utang, maka berkata Abu Qatadah : “ shalatlah atasnya ya Rasulullah,
sayalah yang menanggung utangnya, kemudian Nabi menyalatinya “ ( riwayat
bukhari ).
C.
Rukun dan
Syarat al-Kafalah
Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan
dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
1. Pihak penjamin/penanggung (kafil, dhamin, za’im), dengan syarat
baligh(dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum
dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah
tersebut.
2. Pihak yang berhutang/yang dijamin(makful 'anhu, 'ashil, madhmun’anhu), dengan
syarat sanggup menyerahkan
tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
3. Pihak yang berpiutang/yang
menerima jaminan (makful lahu, madhmun
lahu),dengan syaratdiketahui identitasnya, dapat hadir pada
waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4. Obyek jaminan (makful bih,madhmun bih),merupakan tanggungan pihak/orang
yang berhutang (ashil), baik
berupa utang, benda, orang maupun
pekerjaan, bisa
dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau
dibebaskan, harus jelas nilai,jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah
(diharamkan).
5. Lafadz, disyaratkan keadaan
lafadz ijab dan kabul itu berarti menjamin.
6. Tidak bertentangan dengan syariat
Islam.
7. Kafalah
dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang
ada ditangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang dighasab dan
menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut yang dijamin
untuk ashil seperti dalam kasus ghasab. Namun bila bukan berbentuk
jaminan, kafalah batal.
8. Kafalah dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang
yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya ( cacat ) karena waktu
yang terlalu lama atau hal-hal lainnya, maka ia ( pembawa barang ) sebagai
jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang
dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.
D.
Macam-Macam
Kafalah
Secara umum ( garis besar ), al-kafalah
dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah
dengan harta.
1.
Kafalah
dengan jiwa dikenal pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya
kemestian ( keharusan ) pada pihak penjamin ( al-kafil, al-dhamin atau
al-za’im ) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia
janjikan tanggungan ( mafkullah ).
2.
Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu
kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan
pembayaran ( pemenuhan ) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam,
berikut ini.
a. Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban
orang lain, dalam hadis Salamah bin Aqwa bahwa Nabi Saw. Tidak mau menshalatkan
mayat yang mempunyai utang, kemudian Qathadah r.a. berkata :
صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَعَلَيَّ
دَيْنُهُ فَصَلَّ عَلَيْهِ
“shalatkanlah
dia dan saya akan membayar utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya.”
E. Pelaksanaan Al-Kafalah
Al-kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk,
yaitu
1.
Munjaz
( tanjiz ) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata
“saya tanggug si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”, lafaz-lafaz yang
menunjukkan al-kafalah menurut para ulama adalah seperti lafaz : tahammaltu,
takaffaltu, dhammintu, ana kafil laka, ana za’im, huwa laka ‘indi atau huwa
laka ‘alaya. Apabila akad penanggungan terjadi, maka penanggungan itu mengikuti
akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan, atau dicicil,
kecuali disyaratkan pada penanggungan.
2.
Mu’allaq
( ta’liq ) adalahmenjamin sesuatu dengan dikaitan pada sesuatu, seperti
seseorang berkata, “jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang akan
membayarnya” atau “jika kamu ditagih pada A, maka aku yang akan membayarnya,”
seperti firman Allah”:Dan barang siapa yang dapat mengembalikan piala raja,
akan memperoleh bahan makanan seberat beban onta dan aku menjamin terhadapnya (
QS yusuf: 72 )
3.
Mu’aqqat
(Taukit) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu
waktu, seperti ucapan seseorang, ‘Bila ditagih pada bulan Ramadhan, maka aku
yang menanggung pembayaran utangmu’, menurut Mazhab Hanafi penanggungan seperti
ini sah, tetapi munurut Mazhab Syafi’i batal. Apabila akad telah berlangsung
maka madmun lah boleh menagih kafil (orang yang menanggung beban) atau kepada
madhmun’anhu atau makful’anhu (yang berutang), hal ini dijelaskan oleh para
ulama jumhur.
F.
Berakhirnya Kafalah
1.
Ketika utang telah diselesaikan, baik oleh orang yang berutang atau oleh
penjamin, atau jika kreditor menghadiahkan atau membebaskan utangnya kepada
orang yang berutang.
2.
Kreditor melepaskan utangnya kepada orang yang berutang, tidak pada
penjamin. Maka penjamin juga bebas untuk tidak menjamin utang tersebut. Namun,
jika kreditor melepaskan jaminan dari penjamin, bukan berarti orang yang
berutang telahterlepas dari utang tersebut.
3.
Ketika utang tersebut telah dialihkan (transfer utang/hawalah). Dalam kasus
ini baik orang terutang ataupun penjamin terlepas dari tuntutan utang tersebut.
4.
Ketika penjamin menyelesaikan ke pihak lain melalui proses arbitrase dengan
kreditor.
5.
Kreditor dapat mengakhiri kontrak kafalah walaupun penjamin tidak
menyetujuinya.
A.
Pengertian
Hiwalah
Secara etimologis hawalah atau hiwalah berasal dari kata hala
asy-sya’i haulan berarti berpindah. Tahawwala min maqanihi artinya berpindah
dari tempatnya . adapun hawalah secara terminologis, adalah memindahan utang
dari tanggungan muhil(orang yang memindahkan) kepada tanggungan muhal alaih
(orang yang berutang kepada muhil).[3]
B.
Dasar hukum hiwalah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:
1.
Hadits
Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
مطل ا لغني ظلم فادا أ
تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika
salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya,
maka terimalah hawalah itu”.
Pada hadits ini
Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang
berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia
menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang
yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi
(dibayar).
Kebanyakan pengikut
mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa
hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka
mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu
bersifat sunnah.
2.
Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah
dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah
adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban
finansial.
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah
hanya ijab (pernyataan yang melakukan hiwalah)
dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah)
dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak
ketiga).
Menurut
madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah
ada 6 :
1)
Pihak pertama
(muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang
2)
Pihak kedua
(muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang
kepada muhil)
3)
Pihak ketiga
(muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah.
4)
Ada piutang muhil kepada muhal
5)
Ada piutang muhal
‘alaih kepada muhil
6)
Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan
kata-katanya,
“aku
hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan Kabul dari muhal
kata-katanya, “aku terima hiwalah engkau”. (Ahmad Idris, Fiqh Al-Syafi’iyyah, hal.
57-58)
D. Syarat Hiwalah
Didalam bukunya Sayyid Sabiq syarat sah hiwalah ada empat yaitu:
وشرائط الحوالة
أربعة أشياء: رضاء المحيل، وقبول المحال، وكون الحق مستقرا في الذمة، واتفاق ما في
ذمة المحيل و المحال عليه في الجنس والنوع والحلول والتأجيل. وتبرأ بها ذمة المحيل
Syarat
hiwalah itu ada empat, yaitu :
1. Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
2. Ada persetujuan dari muhal (orang yang member hutang)
3. Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
4. Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima
pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu
pembayarannya. Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
E.
Jenis-Jenis
Hiwalah
1. Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi
jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua)
mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga
ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan
hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang
kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi
dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai
kafalah.
2. Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan
Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah
hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.Ketiga madzhab
selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah
dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan
utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika
sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah
satunya berbeda, maka hiwal
3. Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada
piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini
yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya
kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah
atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A
mempunyai hutang kepada piutang B.
4. Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang
mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya
hiwalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari
sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita
memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita
memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak
piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam
kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
F.
Hikmah dan
Dalil Disyariatkannya Hiwalah
Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena
adanya masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam
bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama,
mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka,
membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
“Menunda membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman dan
apabila seorang dari kalian utangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia
ikuti.”
Dalam hadis
tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar
pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang mampu
hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang
yang dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang
memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi pinjaman
berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.Perintah menerima
pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama adalah wajib, namun jumhur
ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.
Ada sebagian
orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan dengan qias, karena hal
itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan jual beli utang dengan
utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan
bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak,
bukan termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kalaupun itu jual
beli utang dengan utang, namun syara’ tidak melarangnya, bahkan ka’idah-ka’idah
syara’ menghendaki harus boleh…dst.”
G.
Unsur Kerelaan Dalam Hiwalah
1.
Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa
kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam
hiwalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat
dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya.
Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah,
sulit, cepat dan tertunda-tunda. Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih
(orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan
tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima
pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka
mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal (orang
yang menerima pindahan) untuk menerima hiwalah adalah karena muhal ‘alaih
kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda
pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya,
dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hiwalah. Namun jika muhal ‘alaih
termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama
berpendapat muhal tidak wajib menerima hiwalah.
2.
Kerelaan Muhal
‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa
tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya:
jika salah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang
kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada
pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena
setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang
piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal
‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada
siapa saja dari keduanya.
H.
Berakhirnya
akad hiwalah
1.
Apabila
kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil
menjadi gugur.
2.
Jika muhal’alaih bangkrut
(pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur
Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu
kepada muhil. Menurut Imam Maliki,
jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada
orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi
menagih hutang kepada muhil.
3.
Jika Muhal
alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hiwalah
benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.
Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.
Jika Muhal
menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6.
Jika Muhal
menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (yang
menerima jaminan) (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua
(pihak yang dijamin) (makful ‘anhu, ashil). Akad ini berlandaskan dalil
baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan memiliki rukun-rukun yang harus
dipenuhi.
Secara garis besar, kafalah dibagi menjadi dua bagian yaitu kafalah
dengan jiwa (kafalah bin-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah
bil-maal). Kafalah dapat dilaksanakan dengan lima bentuk, yaitu, Kafalah
Al-Mu’allaqah, Kafalah Al-Munjazah, Kafalah Bi At-Taslim, Kafalah Bi An-Nafs, Kafalah Bi Al-Mal, Hukum Kafalah (menanggung
seseorang) adalah boleh apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab
atas hak Adami (menyangkut hak manusia). Tidak menyangkut hak Allah Swt.
(hudud). Jika orang yang menjamin memenuhi kewajibannya dengan membayar
hutang orang yang ia jamin, dan atas perintah/izin yang dijamin, maka ia boleh
meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin. Jika
tidak atas perintah orang yang dijamin, maka penjamin (kafil) tidak
punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu).
Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin/pengelola proyek (makful
‘anhu) dapat menyelesaikan proyek dengan ditanggung pengerjaannya dan bisa
selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan pihak ketiga (bank/kafil)
yang menjamin pengerjaannya. Sedangkan dengan adanya kafalah pihak yang
menerima jaminan/pemilik proyek (makful lahu) menerima jaminan dari
penjamin (dalam hal ini bank/kafil ) bahwa proyek yang diselesaikan oleh
nasabah pengelola proyek tadi dapat selesai dengan tepat waktunya dan sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya
Hiwalah secara bahasa artinya pemindahan atau pengoperan. Sedang
menurut istilah hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan
tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Hukumnya hiwalah
adalah Mubah.
DAFTAR PUSTAKA
·
Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh
Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
·
Mardani,2012,
Fiqh Ekonomi Syari’ah” Fiqih Muamalah, Jakarta: Kencana.
·
Ahmad Isa Asyur, 1995, Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah.
Solo: Pustaka Mantiq.